Jumat, 15 Mei 2009

The Prayer

Sang ‘Doa’ membelot
Suatu keberadaan yang lahir dari doa- doa manusia.
Sewaktu dia membuka mata, dia langsung merasa bosan dan meninggalkan Bapanya yang membosankan itu. Ia lalu berkeliling dan mengabulkan permintaan- permintaan orang. Kekacauan pun terjadi.
Bapa sudah memperingatkannya, tapi Sang Doa tidak mau mendengar.
Kini Sang Doa kebingungan untuk memperbaiki kondisi yang semakin kacau.
Ia datang kepada Bapa. Bersimbah air mata dan lemas.
Bapa merengkuhnya dalam kehangatan dan kasih.
Kalut dalam penyesalan, Sang Doa bahkan tak bisa merasakan kasih dan hangat Sang Bapa.
Bapa sangat sedih melihat Sang Doa yang terpuruk seperti itu.
Kemudian Ia membisikkan sesuatu di telinga Sang Doa: “Kamu sudah dimaafkan,” kata-Nya.
Kemudian Sang Bapa bangkit dan mengubah Sang Doa menjadi suatu suasana yang kini kita kenal dengan Hujan.
Agar dia bisa meluapkan semua emosi yang masih menggelegak di hatinya.
Dan agar Sang Bapa masih bisa melihatnya.
Itulah yang terbaik yang terpikir oleh Sang Bapa. Menjadikannya Hujan.
Bagaimana pun, memang sudah alamnya anak itu selalu membawa masalah.
Setelah menjadi Hujan pun, ia masih suka membuat kekacauan. Ia pernah membuat banjir di sebuah desa sampai ketinggian airnya mencapai atap.

Selasa, 14 April 2009

Kejadian Konyol Waktu Kecil

..Erwin..

Waktu itu gua masih TK kecil. Gua lagi maen- maen sebelum pulang ke rumah. Di sekolah gua tu kan ada tangga gitu.. Temen gua yang namanya Erwin, yang emang bandel banget waktu itu, sedang manjat- manjat di pinggiran tangganya (dia ga naek ke tangganya). Dan gua tuh lagi ada di belakang dia.
Dengan nyantainya dong, dia bilang: “Valen anak babi”. Padahal nyokap gua tuh juga ada di belakang gua bareng sama gua. Dan nyokap gua kontan negur tuh anak, “Erwiin! Ga boleh ngomong gitu!”
Gua sih jadinya nyantai- nyantai aja karena ngerasa udah ada bekingan (backing-an). Sedangkan si Erwin, dia nyangkut di pinggiran tangga yang sedang dia naekin. Dia ga brani turun, sambil terus ngeliatin nyokap gua..
Hahahaha..^^

Senin, 06 April 2009

The Outsider

2/25/2009 8:40:44 PM


Dulu ada seorang anak bernama Georgette. Seorang gadis yang selalu memandang dirinya sebagai pengamat dunia. Dia ga pengen ikut campur dalam urusan yang menurutnya ‘duniawi’ banget. Baginya, tingkah teman- temannya itu terlalu berlebihan dalam menghadapi segala sesuatu. Mulai dari budaya pacaran, sampai hal- hal bullshit seperti persahabatan.

Maka dari itu, dia menempatkan dirinya di posisi orang luar, atau outsider. Dia ga mau ikutan budaya umum di sekitarnya. Kalo dia (entah dengan alasan apa pun) udah mulai masuk ke dalamnya, yang ada hanya protes bergejolak dalam hatinya. Karena banyak ketidaksetujuan terhadap ini- itu dalam pandangannya.

Sejak dia memutuskan dirinya demikian, dia mulai menjadi orang yang pendiam. Memandang. Mengamati. Itulah kegiatan rutinnya. Kegiatan yang dia pikir tak akan berdampak apapun, baik baginya, ataupun bagi semesta yang diamatinya. Sampai saat itu tiba…

Suatu saat, di tengah pelajaran fisika, seperti biasa, Georgette ‘mengamati’. Suatu hal yang sekarang menjadi hobinya. Dia melihat berkeliling, memperhatikan teman- temannya satu per satu. Lalu matanya tak sengaja menangkap suatu keganjilan pada meja temannya. Ada suatu benda kecil bergerak- gerak. Kontan, dia memfokuskan pandangannya pada benda asing itu.

Setelah lama dilihat, setengah tak percaya, dia beriman bahwa benda kecil bergerak itu adalah tupai kecil. Tapi penampilannya seperti yang ada di kartun anak- anak: berbaju, berdiri di atas kedua kaki belakangnya, dan memegang benda pada kedua kaki depannya. Astaga!

Makhluk kecil itu sedang memegang kunci inggris. Dia seperti sedang berusaha memutar sesuatu. Georgette melihat di sana juga ada benda menyerupai mezbah, yang di atasnya terpasang sebuah sekrup berkepala berlian.

Kini kepala Georgette seperti terbagi menjadi dua kubu. Kubu ‘believer’ dan kubu ‘unbeliever’. Satu sisi, dia makhluk berlogika, di sisi lain, dia muak dengan realita dunia yang selama ini dia selami. Maka kemudian, keluarlah sang pemenang: kubu ‘believer’. Dia terlalu muak dengan realita dan logika umum.

Makhluk itu terus berada di sana. Menggeluti kesibukkannya. Sampai jam istirahat, Georgette tak bisa tenang. Beberapa detik sekali dia memusatkan perhatiannya ke meja temannya itu. Takut makhluk itu menghilang..

Setelah kelas agak sepi, karena sebagian besar orang keluar pada jam istirahat, Georgette bermaksud mendatangi makhluk itu. Tapi sebelum terlaksana secuil pun, sesuatu mendahuluinya. Memasung langkahnya. Sebuah suara. Wanita.

“Tupai itu akan mencabut The Sekrup Of Dunia. Penopang pusat tumpuan dunia ini. Jika dia berhasil, dunia akan runtuh seperti menara kartu yang dicabut fondasinya. Tugasmu, tumbangkan tupai itu.”

Tegas. Tidak memberi ruang bantah maupun ruang pertanyaan. Halus. Dingin. Beberapa saat setelah suara itu selesai bicara, barulah Georgette bisa kembali bergerak. Jantungnya berdebar. Kemudian dia amati lagi tupai itu.

“Hei. Kamu tupai kan? Kamu lagi apa?”

Makhluk itu hanya menoleh, kemudian kembali bekerja. Dia terlalu sibuk meruntuhkan dunia ini.

“Heh! Gua bisa liat lu. Waro gua dong!”

Tak ada respon.

Heh, brengsek. Siniin kunci inggris lu!” Kata Georgette sambil bergerak maju dengan tangan menggapai.

Merasa terancam, tupai itu melompat. Bukan mundur, tapi maju. Dia langsung naik ke pundak Georgette dan berlari keliling mulai dari kepala, terus ke punggung, lalu leher, kemudian pinggang… Sampai gadis itu kewalahan.

Akhirnya dia berhasil melepaskan tupai itu dari badanya. Makhluk itu melompat mundur dan mengambil posisi siaga satu. Dipelototinya Georgette dari jarak sekitar 2 meter.

Mereka berdua saling pandang seperti di film koboi, sesaat sebelum keduannya baku tembak. Seperti diberi aba- aba, mereka berdua bergerak bersamaan. Tupai itu kembali ke depan ‘mezbah’nya, sedangkan Georgette menyambar kantung plastik yang ada di meja temannya yang lain, yang tadi tak sengaja tertangkap matanya.

Georgette berusaha menangkap tupai itu dengan senjata barunya. Gagal. Kemudian dia mendapatkan senjata baru lagi: biji kenari (yang entah datang dari mana). Gagal. Tupai itu bahkan tidak menoleh. Senjata baru lagi: kunci inggris tupai itu sendiri, yang berhasil direbutnya. Gagal. Tepat sesudah kunci inggrisnya direbut, tupai itu merogoh saku bajunya dan mengeluarkan benda yang persis sama.

Terengah- engah, Georgette tak tau lagi apa yang harus dilakukannya. Mati- matian dia memeras otak, tak ada satu pun cara yang terpikir yang berhasil. Tiba- tiba dia terniang (atau memang suara itu muncul lagi??) suara asing yang tadi didengarnya: “…tumbangkan tupai itu.” Tumbangkan?

Dengan keraguan yang melampaui batas, dia menjegal kaki tupai itu dengan penggaris sepanjang 15 senti miliknya. Saat itu si tupai sedang disibukkan lagi oleh tugasnya meruntuhkan dunia. Dia sedang konsentrasi penuh memutar sekrup di depannya. Sangat diluar dugaan, tikus itu oleng. Dia jatuh. Kemudian dia terlihat berusaha bangun, tapi tidak bisa. Sesuatu dalam bajunya menahannya dalam posisi tetap seperti itu. Kelihatannya ada sesuatu yang berat di dalam sana.

Georgette melongo. Tak percaya ada mekanisme keseimbangan yang sedemikian rendah levelnya. Dan tak percaya juga dia sudah basah berkeringat, padahal tugasnya (?) seringan ini.

Setelah menumbangkan tupai itu, tak lama sekrup itu bersinar. Memutar dirinya sendiri sampai masuk lagi ke dalam drat-nya seperti semula. Kemudian seiring dengan menghilangnya sekrup, mezbah, dan segala hal aneh lainnya dari meja itu, si tupai pun menghilang. Bertepatan dengan itu, bel tanda istirahat usai, berbunyi.

Hari itu cukup melelahkan, mengherankan, sekaligus (agak) menyenangkan bagi Georgette. Sesuatu yang tidak membosankan telah terjadi padanya hari ini.

Dia berjalan pulang sambil senyam- senyum. Dia melihat awan, memandang pohon, memperhatikan kucing liar yang berjalan melewatinya. Semuanya tak ada yang terlewatkan. Georgette sedang mengamati dunia.

Semuanya terlihat begitu indah dan bersahabat hingga matanya tiba di sebuah pohon mangga. Sepertinya ada sesuatu yang janggal pada salah satu buahnya. Dipicingkanlah matanya untuk melihat lebih jelas. Buah yang menggantung itu bergerak- gerak pelan. Dan yang lebih penting, warnanya pink!

Kali ini, imannya yang kedua. Dia beriman yang dilihatnya itu adalah seekor kelinci. Kelinci menyamar sebagai buah di pohon mangga! Alangkah kejadian yang luar biasa jarang.

Belum sempat Georgette membatin ‘hari ini adalah hari yang luar biasa’, kelinci aneh itu pun muncul lengkap dengan sang ‘suara’. Kembali membuatnya terpasung di tempat dan menyesali pemikirannya yang sekilas itu.

“Namanya Rabithia. Dia sedang berusaha memotong The Urat Of The Semesta yang salah satu serabutnya ada dalam batang pohon itu. Jika dia berhasil, energi dunia akan memancar keluar seperti saat orang memotong nadinya. Jangan pikirkan apa yang akan terjadi jika dia berhasil. Yang perlu kamu pikirkan hanyalah bagaimana kamu bisa menyiasati untuk menjatuhkannya.”

Georgette menghela nafas pertanda lelah. Memang hal ini (agak) menyenangkan pada mulanya. Tapi kalau sampai datang dua kali dalam waktu sedekat ini, siapapun akan menjadi muak.

Dia melihat ke langit, “Ow my God! Bolehkah aku pura- pura aja bilang ga liatt??”, katanya. Berusaha bicara pada siapa pun yang sepertinya ada di atas sana…


2/25/2009 10:42:18 PM

The Kelanjutan

31/03/2009 19:26:22

Hei! Aku sudah tau kelanjutannya! Setidaknya begitulah pikirku. Sang Cerita sudah membisikiku sesuatu. Katanya, ayah si tokoh utama wanita tak akan membiarkannya pergi dari rumah (kos misalnya) sebelum si wanita kawin. Sudah kubilang sebelumnya kan? Tokoh utama kita tidak tertarik dengan hal- hal semacam itu.
Maka satu hal kupastikan, ia pasti pergi. Tokoh kita hanya sedang menunggu sayapnya terkembang. Kapankah sang sayap akan menjawab jeritannya?
Kesempatan. Itulah satu- satunya hal yang sedang ditunggunya.
Jika ia terus tinggal di rumahnya, ia akan mati. Pasti mati. Walaupun nampak hidup, ia sudah mulai kehilangan sedikit demi sedkit sari kehidupannya di dalam. Jika ia terus di sini, ia akam mati. PASTI MATI.
Kujamin, ia pasti pergi. Itulah kelanjutan ceritanya.

The Traveler

29/03/2009 18:43:46

Seorang anak perempuan yang bosan dengan kehidupannya. Ia sudah sekian lama muak dengan kepribadian ayahnya. Bertahun- tahun ia memikirkan tentang hidupnya ke depan. Akhirnya ia menggapai kesempatan untuk menjadi seorang backpacker.
Sebelum memutuskan untuk pergi tanpa pernah kembali lagi, satu hal lagi yang masih mengganjal pikirannya: seorang partner. Ia memang bisa saja independen. Tapi semua orang butuh teman. Kalau memang bisa punya partner, mengapa tidak?
Ia tau jelas, sekali ia melangkahkan kakinya keluar dari rumah, maka ia tak akan pernah memiliki rumah lamanya itu lagi. Ia tak akan bisa kembali ke rumah itu seperti saat ia belum meninggalkan rumahnya. Ia akan menjadi seorang outsider bagi rumahnya sendiri.
Semuanya tak akan ada yang sama lagi.

Berpusing- pusing ia mencari seorang partner. Ada satu orang yang disukainya. Diharapkannya untuk bisa menjadi partnernya. Tapi maukah gerangan sang pribadi untuk menjadi partnernya? Menjadi bagian dari hidupnya?
Jangan pikir yang ia harapkan dari semua ini adalah seujung perkawinan, dan si pria akhirnya akan membawanya lari. Tidak. Tidak demikian adanya. Sang tokoh utama wanita ini adalah seorang yang tidak percaya dengan adanya cinta. Hal semacam pengungkapan kasih dan sebagainya hanya bullshit baginya. Semakin diungkapkan, kasih akan menjadi hal yang semakin tawar. Begitu menurutnya. Maka dari itu, ia tak pernah sekali pun membicarakan kasihnya pada orang- orang yang dikasihinya.
Orang yang dingin dan jahat. Begitulah penjelasan yang paling gamblang dan gampang mengenai pribadi si wanita.
Sungguh disayangkan, ia masih memiliki hati saat ia hidup di dunia yang sebagaimana kita tinggali sekarang. Ia pun menyesali kondisi ini. Hati membuat segalanya tidak efisien.

Tak ada waktu luang yang ia lewati tanpa memikirkan pujaannya. Selalu kepalanya dipenuhi ‘duh, gimana ini?’, atau ‘dia mau ga, ya?’. Berat rasanya. Semua ini mendatanginya bertubi- tubi. Mulai dari pemikiran tentang keberangkatannya sendiri, sampai tentang sang patrner pujaannya.
Kira- kira, beginilah isi pertimbangannya: Pertama tentang dirinya sendiri. Kalau tentang dirinya sendiri, resiko setelah ia meninggalkan rumah akan ia tanggung tanpa mengeluh. Karena ini adalah pilihannya sendiri. Kedua tentang si pria, seandainya ia mengutarakan isi kepalanya dan mengajaknya untuk saling berbagi hidup, maukah ia? Atau bahkan, sanggupkah ia? Bagaimana pun, si pria harus (setidaknya) menanggung resiko dan konsekuensi yang sama dengannya.
Ketahuilah, sang tokoh wanita benar- benar tak akan mengeluh. Karena dia adalah orang yang selalu memperhitungkan segala probabilitas dengan tolak ukur kemungkinan terburuk sebelum melakukan segala sesuatu. Ia adalah orang yang (hampir) tidak pernah merasakan penyesalan dalam hidup. Karena semua sudah ada dalam perhitungan. Jangan sampai salah mengerti. Ia tak pernah mengeluh bukan karena semua berjalan mulus. Tapi karena ia memang sudah siap saat Sang Konsekuensi datang di ujung kisah.

Saat ini yang bisa ia lakukan hanyalah membayangkan. Membayangkan betapa surganya jika ia berhasil menjadi seorang backpacker bersama dia yang terkasih. Jauh beredar di mana pun ia mau melangkahkan kakinya. Jauh dari rumah. Jauh dari ayahnya. Jauh dari nerakanya.
Sekian yang bisa kutulis untuk saat ini. Aku tak punya keberanian yang cukup untuk melanjutkan kisah.. yang bahkan belum mulai. Aku tak punya keberanian yang cukup untuk menantang Sang Esa. Menantang Sang Takdir.

Rabu, 18 Maret 2009

huwaloow.. indonesia!!

akhirnya kelar juga gua bikhin blogh..

duh..sungguh luar biasa sangat melelahkan.. atau guanya aja yg gatekh yah??

yah, pokonya puji syukur saya panjatkan ke hadirat tuhan yg maha kuasa atas lahirnya blog gua ini^^

sekian.(-_-)

Senin, 09 Maret 2009

Auto-biodata

Inisial gua V.W. Amanda. Gua adalah orang dengan tingkat efisiensi yang gua rasa cukup tinggi. Gua ga pengen ada sedikit pun dari usaha gua yang sia- sia. Apa pun itu!! Terus, ada yang bilang gua itu denotatif. Alias ga toleran sama sedikit pun penyimpangan dalam penggunaan bahasa lisan mau pun tulisan.
Khu..Khu..Khu..Khu..
Gua suka baca (komik) + nulis (bukan komik). Hal ini juga yang kadang menimbulkan dilema.. 99% buku yang gua punya itu komik. Sedangkan gua ga bisa gambar, berarti jelas ga akan nulis komik. Padahal kalo di kepala gua udah muncul suatu ide cerita, yang kebayang itu berupa panel2 gambar. Sering gua kesulitan untuk memulai cerita dalam bentuk narasi. Maka suatu hari, gua bertekat untuk sedikit memodali gaya tulis gua dengan membeli 1 set novel Narnia (box set). Tentunya, berdasarkan hukum efisiensi gua, gua ga mau duit gua yang pergi meninggalkan gua itu pergi sia- sia.
Gua juga adalah orang yang terobsesi sama waktu. Yang gua tulis itu bukan diary. Gua ga pernah nyebut gitu karena catatan yang gua tilis tidak dalam satuan hari. Satuan yang gua pake itu MENIT. Gua juga hobi nulis tanggal di segala tempat.
Karena gua pikir, bahkan benda pun, harus punya tanggal lahir.