Minggu, 28 Februari 2010

Sang Penari

Di sebuah desa bernama Aquamarine, terdapat reruntuhan kuil pemujaan dewa air. Dewa itu berwujud manusia duyung bertubuh air. Ia memakai mahkota Vulcatroya, yang menandakan kuasanya atas pergerakan magma di dasar lautan.

Saat Helio melintas di angkasa, kembali menyinari Bumi setelah lama meninggalkanya dalam gelap malam, cahaya mentari berlarian menembusi tiap celah dari puing tua itu. Bias- bias cahaya menusukinya dari sana- sini.

Waktu lintasan Helio sudah mengharuskannya kembali menghilang dari pandangan Bumi, merahnya senja menggantikan biasan cahaya pagi mengisi puing itu. Jauh lebih indah ketimbang pagi hari, sinar senja yang merah dan kuat membentuk biasan cahaya saling silang. Mencoret- coret sang bangunan tua di mana- mana.

Di malam hari yang cerah, saat semua makhluk langit bersepakat untuk menonton Bumi, sinar- sinar putih halus membanjiri gedung itu. Kuat, namun lembut. Ada kalanya di saat seperti ini beberapa orang pernah melihat seorang gadis berbusana serba putih menari di tengah- tengah panggung tarian pemujaan di kuil.

Sosoknya yang kadang tenggelam di balik bayangan terlihat begitu murni. Ia menari tanpa beban apa pun. Terlihat begitu hidup. Ia mencurahkan segenap jiwa raganya, memasukkan semuanya ke dalam tarian.



Suatu kali, sang penari yang biasaya selalu terlihat menari sendiri, kini menari berdua dengan sebuah sosok yang serba hitam. Mereka menari. Berputar. Saling mendekat. Menjauh. Mereka bersinkronisasi. Sesekali mereka terlihat seperti bermusuhan. Dengan gerakan cepat yang dingin, mereka saling berkomunikasi.

Di antara keduanya terlihat saling pengertian satu sama lain. Waktu si penari putih terlihat marah, penari hitam hanya terus menghindar sambil menatap mata lawannya. Pada kesempatan yang lain, giliran si penari hitam yang terlihat menyerang penari putih. Ia berkeliling di seluruh panggung, mengejar penari putih.

Entah mengapa, tiba- tiba mereka berdua berputar di dalam panggung dengan lingkaran yang semakin mengecil. Beberapa saat kemudian, mereka mengulurkan tangan, berusaha saling menggapai. Setelah lingkaran menjadi benar- benar kecil hingga tangan mereka bertemu, mereka menyatukan tangan. Bertatapan beberapa lama. Menghadap ke arah patung dewa air, kemudian memberi hormat. Kesemuanya mereka lakukan secara bersamaan.

Di detik berikutnya, mereka menoleh ke arahku, menatapku tepat di mata. Baru kusadari, wajah mereka terbuat dari air! Aku mau berlari, tapi saking takutnya, aku lemas di tempat. Mereka berjalan mendatangiku. Beberapa meter sebelum mereka tiba, segenap tenaga berhasil kusummon, maka berlarilah aku sebaik yang kubisa.

Gagal. Aku dijerat sulur- sulur kain dari baju mereka. Kemudian mereka membawaku ke tengah- tengah kuil. Ke panggung tari. Dan aku baru tahu kalau panggung tari itu sebenarnya adalah kolam yang cukup dalam! Jadi dari awal, para penari itu jelas bukanlah manusia.

Mereka menenggelamkanku. Cahaya di mataku kian meredup. Kesadaranku terus berhamburan menguap. Hingga pada satu titik, namaku dipanggil: “Oxyrius, anakku, bangkitlah.” Aku membuka mata dan kulihat sosok yang hanya kukenal dari patung itu kini hidup dan beterbangan di depanku. Aku mengedipkan mata barkali- kali sambil mengernyit. Kusadari aku ada di dalam air! Maka makhluk beterbangan itu pun sebenarnya bukan terbang, melainkan berenang.

Dua penari itu ternyata menahan tubuhku selama aku pingsan. Wajahnya terlihat! Kuperhatikan mereka satu per satu: penari putih ternyata adalah seorang pria (padahal selama ini penduduk mengiranya perempuan), dan yang hitam adalah seorang wanita. Mereka terlihat jauh lebih indah, lebih agung, di dalam air. Bukannya bermusuhan, mereka justru saling melengkapi.

Dua penari itu rupanya bukanlah penari utama. Mereka hanya semacam tarian pembuka untuk memanggil dan membangkitkan para penari yang sesungguhnya. Aku salah satunya. Aku adalah seorang penari merah. Namaku Oxyrius. Kini, tugas membangkitkan yang lainnya dipindahkan ke tanganku. Aku harus mencari empat yang lainnya.

Awalnya begitu sulit. Selain aku harus mencari sendirian, aku juga masih belum mengerti banyak hal. Namun dewa air sendiri yang membimbingku. Aku tak pernah melihat lagi baik si penari putih, maupun penari hitam.

Segalanya menjadi lebih mudah setelah bertemu Cyanis, si penari biru. Aku yang sudah lumayan mengerti tugasku, kini menjadi pembimbing baginya yang baru bangkit. Kurang lebih dua tahun kuhabiskan untuk mengumpulkan semuanya. Yang ketiga kutemukan adalah Chloriel, penari hijau. Lalu Xantula, penari kuning. Terakhir Momotaro, penari pink. Lengkaplah kami kini, Dancer Ranger.

Jumat, 26 Februari 2010

Jangan Bilang Ga Ada Yang Merhatiin Kamu

Suatu hari Georgette mendapat kiriman amplop berwarna gading berhiaskan guntingan di sana- sini yang membuatnya seakan berenda, ditujukan kepada dirinya. Ukurannya cukup pendek dibanding dengan amplop surat pada umumnya. Bertahun- tahun menanamkan dalam diri bahwa ia orang luar, menjadikannya benar- benar merasa orang luar.


Diperhatikannya dengan seksama benda di tangannya, dibolak- balik. Coba menerka kira- kira siapa manusia di Bumi ini yang masih ingat kepadanya. Tak ada nama pengirim sama sekali. Satu- satunya tulisan yang digoreskan pada amplop itu hanya terdapat pada bagian depan: ‘Kepada Yth. Nona Georgette’.


Pikiran pertama yang muncul di benaknya: sepertinya pak pos salah kirim, atau, pengirim surat ini salah mencantumkan alamat. Lalu, pikiran kedua: Hei! Di amplop ini sama sekali tak dicantumkan alamat! Hanya namaku sebagai alamatnya.


Matanya membelalak saat pemikiran kedua itu lahir di kepalanya, menyadari kejanggalan menarik yang ada di sana. Secepat kilat ia berlari ke kamarnya, berusaha sesegera mungkin menciptakan zona pribadi. Kemudian ia menahan diri supaya tidak bersuara terlalu keras saat menutup pintu, seemosi apa pun dirinya.


Sekali lagi ia perhatikan bagian luar amplop itu sampai puas, memotret penampang lempengan karton itu di benaknya. Setelah itu dengan sangat hati- hati ia merobek perekat di bagian belakang amplop, mengusahakan tak sedikit pun amplop itu koyak.


Perlahan ditariknya isi amplop gading berenda tersebut. Selembar benda kaku. Sebuah foto. Tanpa sadar ia mengernyitkan kening. Dilihatnya dalam foto itu seorang fotografer yang sedang mengarahkan kameranya ke suatu arah.


Berapa lama pun waktu yang dihabiskannya untuk berfikir, ia tak menemukan jawaban apa- apa, baik dari foto maupun dari amplop pembungkusnya. Maka Georgette memasukkan kembali foto itu, menutup ampopnya, dan meletakkannya di dalam laci.





Beberapa bulan kemudian, amplop dengan dandanan hampir serupa kembali mendatangi dirinya. Namun kali ini, bentuk amplop itu lebih persegi dan terlihat lebih tebal. Sekilas hiasan amplop itu sama dengan yang diterima sebelumnya. Namun setelah diperhatikan dengan baik, dapat dilihatnya bunga- bunga Krisan pada pinggiran penutup amplop.


Reaksinya kali ini jauh lebih tenang daripada waktu pertama kali ia dihampiri kejadian serupa. Tidak berlari ke kamar, ia langsung membuka amplop kiriman itu dengan ketelitian yang sama seperti sebelumnya. Menarik isinya keluar, dan untuk kedua kalinya, mengernyit. Sebuah kepingan CD. Ia berjalan agak cepat menuju kamarnya, dan segera menyetel CD itu. Dilihatnya rekaman video yang monoton. Dari tadi ia hanya disuguhi gambar seorang gadis aneh yang duduk diam mematung di sebuah kursi taman. Gadis itu hanya memperhatikan tingkah orang- orang di sekelilingnya dari waktu ke waktu.


Akhirnya ia menyerah menonton rekaman membosankan itu dan bermaksud menyudahinya. Tapi tiba- tiba, saat pointer mouse-nya sudah di atas tombol stop, ia menyadari sesuatu. Ketenangannya menguap, ia kembali kesetanan. Dibukanya laci meja dengan tenaga berlebihan. Mengambil selembar amplop di sana, dan kembali menarik keluar isinya. Matanya membelalak saat bolak- balik memperhatikan layar komputer dan foto di tangannya.


Di foto itu ia melihat seseorang yang memegang kamera sedang mengacungkan kameranya ke suatu arah. Mungkin foto itu ingin menggambarkan bahwa ia sedang memotret. Tapi sang fotografer itu sendiri sedang dipotret. Fotografer yang memotret fotografer.


Kemudian, video yang ia terima. Gadis di dalam video itu sama sekali tidak berakting atau setidaknya berbaur dengan orang lain yang ada di sana. Ia hanya mengamati mereka. Sedangkan video itu justru hanya merekam dirinya, bukan apa yang direkamnya. Pengamat yang memperhatikan pengamat.


Ia kemudian sadar, ia tak bisa selamanya menyembunyikan diri di belakang matanya. Mungkin selama ini ia bukanlah orang yang berdiri paling belakang. Sehingga walaupun ia berdiri lebih belakang ketimbang yang lain, menyembunyikan punggungnya sendiri, sementara ia memperhatikan punggung orang lain, bukan berarti tak ada orang lain yang bisa berdiri lebih belakang darinya.


Sepertinya selama ini, ia sendiri diamati.