Rabu, 28 Desember 2011

Ubur2

Jaman dahulu, ubur2 belum bisa menderita sakit flu. Kemudian dari antara mereka muncullah seorang pahlawan bernama Jellopy yang berani menentang diskriminasi tersebut. Berkat perjuangannya kini bangsa ubur2 juga bisa terkena flu. Nah, bagi ubur2 yang sedang terjangkit flu, akan tidur di atas jam dua dini hari.

Namun di lain sisi, beberapa ubur2 telah berhasil berevolusi menjadi ubur3. Dan pada generasi baru ini, lagi- lagi mereka kebal terhadap penyakit flu. Akankah seorang pahlawan direinkarnasikan atas generasi ini? Ataukah mereka harus mengemis pada generasi sebelumnya untuk dimohonkan keadilan?

Kamis, 21 April 2011

Players (..)

Wow! Mari kita hilangkan kerutan vertikal di dahimu itu. Rumahku. Keluargaku akan sempurna jika tak ada anak pembawa aib sepertiku ini. Sewaktu duduk di kelas 2 SMP, aku menemukan teman- teman yang begitu cocok bagiku. Sedang rumahku begitu gelap dan berkobar. Maka kulupakan keluargaku. Seluruh duniaku adalah teman- temanku waktu itu.

Hidupku begitu indah, cerah, dan berkilau. Kunikmati tiap tarikan nafas yang melewatkan udara di tenggorokanku. Aku juga memiliki seorang pacar. Gadis cantik dan lucu. Seuntai senyum pasti mengembang di wajahku kapan pun aku mengenang masa- masa ini. Tanpa terkecuali –dalam kata lain, kuberitahu kalian bahwa saat ini aku sedang tersenyum.

Nah, cara kami jadian pun cukup fantastis! Ia adalah seorang gadis yang cukup populer di sekolah. Bukan tak suka padanya, aku hanya sekedar sudah punya ‘incaran’ lain. Incaranku adalah orang yang baik dan selalu peduli padaku. Walau sebelum aku se’eksis’ sekarang. Lalu kenapa aku tak jadian dengannya? Sebab suatu hari, si gadis populer mendatangiku dan membuat janji sepihak denganku. Pulang sekolah. Di atap.

Dari awal, aku sudah bisa menduga apa yang akan terjadi: main cap sah seperti yang biasa kami semua lakukan. Gilanya, setibanya aku di sana, kulihat si gadis membujur di lantai. Baju berantakan. Beberapa kancing lepas (benang penjahitnya putus). Dan seleting belakang roknya terbuka, walau rok itu tetap di tempatnya.

Kontan kuhampiri dia. Di pelukanku, kugoncang- goncang dia. Kupanggil namanya hingga tak bisa kubedakan lagi mana yang dengan volume normal, mana yang sudah berteriak. Pedulikah aku pada gadis populer itu? Maaf, tidak. Yang kulakukan hanyalah sebuah reaksi normal dalam diri siapa pun yang mendapati kondisi seperti aku saat itu.

Gadis terbujur itu adalah ‘bunga’ diantara kami, para anak lelaki yang bermain di sana. Cantik. Enak diajak ngobrol. Oh, bunga yang indah. Namun tak lebih dari itu ia di mataku. Hidupnya, hidupku, pemikirannya, pemikiranku, sama sekali tak berhubungan.

Beberapa saat kemudian tiba- tiba ia membelalakkan matanya. Bola matanya tepat di bola mataku. Terkejut, hampir kubuang dia. Hampir kuhempaskan lagi tubuhnya ke lantai semen itu. Lalu kenapa hal itu tak terjadi? Gadis itu memeluk lenganku dengan (sangat) kuat. Mencengkeramnya. Bergelendot di sana hingga kagetku usai kuatasi.

Kutanyakan kondisinya, apa yang telah terjadi padanya. Simpel, ringan, tak berdosa, dijawabnya aku dengan pertanyaan: “Kamu suka ga sama aku?”

Otomatis mataku membelalak. Mudahnya gadis itu mengejutkanku hingga beberapa kali.

“Hah?” aku sama sekali tak mengerti.

Diulanginya pertanyaan itu dan mengajakku jadian. Sebelum kajawab keinginannya, kusuruh dia merapikan bajunya dulu. Dia malah menatapku. Terdiam beberapa saat dalam posisi yang dinikmatinya seorang diri. Menanyakan pendapatku akan penampilannya. Gadis gila! Tapi mengerti apa maksudnya, keinginannya, aku menganggukkan kepalaku. Itulah mulanya aku jadian dengan gadis itu. Eh? Siapa namanya? Entahlah. Aku sendiri sudah lupa. Ia tak cukup penting untuk mengharuskanku mengingat namanya.

Delapan bulan kami habiskan bersama, kucampakkan dia. Begini- begini aku adalah tipe orang setia. Dapat kutahan perasaanku ini sebegitu lama: delapan bulan. Berstatus sebagai pacarnya. Walau aku tak pernah suka dia.

Dia adalah pacar pertama sekaligus terakhirku. Sebab darinyalah kukenal dan kudapat trauma terhadap gadis.

Waktu kuputuskan dia dengan alasan yang sudah kusemedikan selama empat hari, ia memberiku respon: “Begitu ya? Ga pa- pa. Aku udah cukup seneng jalan sama kamu selama ini. Aku juga bersyukur banget kamu yang duluan ngomong. Tadinya aku udah pusing- pusing cari cara buat ngomong…”

“Ngomong apa?” selaku. Perasaan aneh dan tak nyaman seketika menyergapku.

“Untuk putus dari kamu.”

“Loh? Kenapa?”

“Soalnya aku ditembak…”

Ingatanku samar di bagian itu. Aku tak mengingat nama orang yang menembakknya. Untuk apa juga. Tapi begitulah sejarahnya kami putus. Ia ditembak seseorang beberapa minggu sebelum pembicaraan itu. Dan sejak itu mereka sudah sering pergi keluar bersama layaknya orang pacaran. Padahal kan masih ada aku! Aku yang berstatus sebagai pacarnya. Aku yang menahan diriku untuk tetap berstatus sebagai pacarnya, sementara membuang gadis yang justru sebenarnya kusukai. Perempuan gila!

Haruskah dia menghargaiku? Jelas. Harus. Wajib. Terlebih dari penghargaannya terhadap statusku atas dirinya, kuterima status itu secara terpaksa. Fakta ini membuatnya harus menghargaiku lebih dari siapa pun juga teman di sekitarnya. Entah kenapa dari dulu aku beranggapan: orang yang melakukan sesuatu dengan terpaksa, harus mendapatkan penghargaan yang lebih dari umumnya.

Oh ya, ada bagian yang terlewat. Posenya yang bergelendot di tanganku dengan penampilan berantakan itu diabadikan oleh temanku. Kami difoto. Nah, foto itulah yang kugunakan untuk menghakiminya. Singkat cerita, semua orang jadi memiliki kesempatan untuk curi lihat foto itu. Membuatnya malu dan mengadu pada pihak sekolah. Perempuan gila!

Inilah titik pertama kukoyak kesempurnaan keluargaku. Tak perlu kudeskripsikan panjang lebar, kalian toh pasti sudah punya gambaran sendiri tentang apa yang terjadi selanjutnya di rumahku. Ditegur. Dimarahi. Yah, hal- hal semacam itu. Lalu dikatai sebagai pencoreng nama baik keluarga.

Ayahku sempat berkata pada Jonathan (adikku), “Dek, nanti kalo udah gede jangan kaya kakak ya! Bikin malu orang tua.”

Mudahnya bagi mereka. Jika anak pertama berhasil baik dan memuaskan, mereka tinggal menyuruh anak berikutnya mencontoh si anak pertama. Namun jika ia tak menunjukkan apa yang diinginkan oleh si orang tua, maka mereka tinggal berkata pada anak selanjutnya untuk tidak menjadi seperti si anak pertama. Keluarga gila!

Selesai sudah kugambarkan ketidaksempurnaan masa SMP yang berimbas pada keluargaku. Kita tiba di penjelasan tentang kampus. Seusai aku lulus SMA, aku berhasil menjebol salah satu perguruan tinggi yang cukup ternama. Orang tuaku berkata pada Nathan, “Tuh, tiru kakak kamu.” Ewh.. membayangkan mereka lama- lama membuatku jijik.

Semua berjalan lancar. Mulai dari ospek, hari pertamaku, tugas pertamaku.. tak ada penghambat sama sekali. Baik dari dalam diriku, maupun dari lingkungan.

Tetapi rupanya, Sang Ketidaksempurnaan sudah mengintai tanpa sepengetahuanku. Segerombolan senior. Tentu saja senior, berhubung aku adalah anak baru, semua orang yang ada di sana pastilah seniorku –kecuali teman seangkatan.

Suatu hari aku diajak main kartu. Cap sah. Kesukaanku. Mengingatkanku pada waktu- waktu yang sudah berlalu. Tentu aku menerima ajakan itu. Sesampainya aku di tempat mereka, kulihat mereka bersih. Tanpa uang. Mulai dari situ aku hampir selalu bersama mereka di waktu- waktu kosong. Hingga seminggu berlalu dan aku mulai merasakan kejanggalan. Mereka menggunakan uang.

Senin, 18 April 2011

Players (.)


“Ayo kita bermain!”

Kita akan terus bermain sampai salah satu dari kita lelah.

Ini adalah tahun keduaku di universitas. Kehidupan kurasa begitu tenang, damai, dan terang. Ya, terang adalah istilah yang kupakai di mana aku merasa begitu senang hanya dengan menarik nafas saja. Mengisi paru- paruku penuh dengan udara. Lalu menghembuskannya kembali dengan puas. Entah dengan mahasiswa lain, namun hariku.. begitu kemilau. Oh ya, kemilau adalah sebutan yang kugunakan untuk menggambarkan langkah- langkahku yang bagai berada di atas riak air terpapar cahaya.

Tugas- tugasku selalu beres. Entah dengan mahasiswa lain, namun segala yang kuterima selalu berada dalam batas penanggulanganku. Intinya, sama sekali belum mengganggu ruang pribadi dalam kehidupanku. Waktu tersita? Tentu tidak. Kupikir mereka semua (tugas- tugas) masih tahu diri dan hanya memenuhi waktu mereka yang semestinya. Sama sekali tak mengganggu hidupku yang kemilau. Kemilau. Indah sekali.

Keluargaku adalah keluarga bahagia. Ayah dan ibu masih lengkap. Di antara mereka pun masih ada tali suami istri, baik secara hukum, maupun secara batin. Adikku anak yang baik. Ia penurut dan jauh dari istilah malas belajar. Benar- benar anak yang manis dan ramah. Ia pandai bergaul, lebih daripada aku. Namun seiring pertumbuhan, ia menjadi anak yang lebih diam dariku saat berada di luar rumah. Kenapa ya? Mungkin ia hanya sekedar –pada akhirnya– menyadari apa itu masyarakat sebenarnya. Apa itu pergaulan sebenarnya.

Gadis- gadis begitu mengerikan. Makhluk bar- bar dengan energi berlebihan. Ewh.. just say no for them. Terlebih para pria. Mereka menjijikan. Sejenis makhluk hidup dengan otak kotor. Tak lain dan tak bukan sex yang melintasi kepala mereka bagai marquee dengan kecepatan tinggi yang bisa membuat mata sakit jika dilihat dengan seksama terus- menerus. Intinya, jangankan pilih- pilih teman, tak ada pilihan yang diberikan padaku sejak awal. Itulah manusia di mataku. Jika disuruh memilah yang baik dari yang buruk, tapi yang dihadapkan padamu buruk semua, apa yang akan kau perbuat? Yang kuperbuat? Diam di tempat. Seperti yang sekarang dan selalu kulakukan.

Keluargaku sempurna. Kampus tempatku kuliah juga sempurna. Lalu, apa yang kulakukan? Menuliskan semua itu di sini? Apa gunanya dan apa untungnya bagiku? Untungkah aku jika berhasil membuat kalian iri? Oh, tentu tidak. Apa peduliku dengan kalian? Wahai para pembacaku, yang jika bukan pemudi, maka pemudalah kalian?

Baik kuberitahu. Kalimat- kalimat di atas. Semuanya belum selesai. Masing- masing dari mereka memiliki bagian yang kuhilangkan. Bagian itu adalah:

…jika tanpa aku.

Ya, semuanya sempurna. Tapi jika tanpa aku.

Semuanya sempurna jika aku tak ada.

Selasa, 14 Desember 2010

AQUA

Zaman dahulu kala ada sebuah negeri yang meliburkan segala aktivitas rakyatnya jika hari hujan. Para pekerja, anak- anak, semuanya diliburkan saat Sang Air meluncur berjatuhan dari langit. Terutama anak- anak, mereka begitu senang jika hari hujan tiba.

Masing- masing dari mereka terkadang melihat cahaya- cahaya kecil menari di langit kala hari hujan. Namun para orang dewasa yang telah melupakan pengalaman mereka sendiri ketika masih anak- anak, selalu menyangkalnya dan mengatakan bahwa itu hanyalah kilatan- kilatan petir.

Alcarea, seorang gadis cilik amat menyukai hujan. Ia tak peduli dengan libur yang didapatkannya saat hujan turun mengguyur. Setulus hati, ia menyukai hujan, terlepas dari apa yang diberikan hujan padanya. Oh, hampir lupa, anak itu buta sejak lahir.

Ventrion, bocah lelaki cerdas namun sangat sulit disuruh pergi sekolah, juga menyukai hujan karena ia jadi tak perlu datang ke sekolah. Ia adalah anak paling kecil dari empat bersaudara. Semua kakaknya perempuan. Ditambah seorang ibu yang begitu lembut dan kenyataan bahwa tak ada ayah yang mendidiknya, menjadikannya anak yang manja.

Alcarea, Ventrion, belum pernah bertemu satu sama lain. Hujan yang mempertemukan mereka. Pertama kali mereka saling bertatap mata adalah kala senja berhujan di sebuah reruntuhan kuil di luar desa mereka.

Alcarea meminta seorang teman mengantarnya ke tempat yang ramai dibicarakan anak- anak sebagai ‘tempat tinggal hujan’. Di sana, ia berencana untuk menemui Sang Hujan dan mengajaknya berteman. Setibanya di sana, anak yang mengantar melihat sesosok bayangan aneh berkelebatan di dalam kuil. Ketakutan, ia pun lari tunggang- langgang meninggalkan Alcarea.

Anak perempuan buta itu pasrah terduduk lemas di tempatnya. Berhubung dia buta sehingga tak cukup daya untuk melihat jalan dan berlari pulang. Matanya mulai berkaca- kaca.

“Hei! Kamu kenapa?” tanya sebuah suara. Suara anak laki- laki.

Alcarea belum sanggup untuk mengeluarkan suara, ia masih gemetaran. Sebuah tangan yang hangat terulur padanya dan membantunya berdiri.

“Patroska lari,” ucap Alcarea gemetaran.

“Hah? Siapa?” tanya suara itu.

“Teman yang mengantarku ke sini. Tanpa dia aku tak bisa pulang,” jelasnya terisak.

Sebelum bertanya ‘kenapa tak bisa pulang sendiri’, sang penanya sudah terlebih dulu menyadari kondisi lawan bicaranya. Buta. That’s why.

“Rumah kamu di mana?”

Menjelang malam hari Alcarea baru tiba di rumahnya. Hanya ada ibunya di sana. Ayahnya sedang kelimpungan mencarinya karena panik mendengar laporan anak yang pergi bersamanya tadi. Namun hari itu berakhir cukup baik.

Sejak itu Alcarea hampir selalu pergi mengunjungi reruntuhan kuil di hari hujan. Ia percaya saat itu, di sana, ia akan bisa bertemu lagi dengan Sang Hujan yang disukainya itu.

Dia kadang bercerita pada temannya: “Kemarin aku bertemu dengan Sang Hujan. Sepertinya dia adalah anak laki- laki seumur kita!” ungkapnya gembira.

Bertahun- tahun dihabiskannya dengan mengunjungi reruntuhan kuil waktu hujan. Ia mulai terbiasa dengan anak laki- laki yang dianggapnya sebagai Sang Hujan. Hidupnya runtuh ketika suatu hari suara laki- laki itu memperkenalkan namanya.

“Namaku Ventrion. Berhentilah memanggilku Ame. Panggil aku Ion.”

Setelah kejadian itu, berbulan- bulan Ventrion sia- sia menunggu Alcarea di reruntuhan tepat mereka biasa bertemu. Saat ia sudah siap berucap selamat tinggal pada tempat itu beserta seluruh kenangannya, gadis yang ditunggunya muncul.

Ion diam di sudut ruangan. Berusaha keras agar tak mengeluarkan suara sedikit pun. Diam. Menunggu. Mengamati. Dilihatnya Alcarea berdiri beberapa menit di depan pintu masuk. Membiarkan dirinya diguyur hujan. Tak takut basah, karena sejak awal dia sudah basah. Air mukanya seperti orang yang sedang menangis. Tapi Ventrion tak dapat memastikannya karena wajah Alcarea sudah basah dialiri air hujan yang mengucur dari rambut.

Gadis itu berdiri begitu tegak dengan dagu terangkat. Biasanya pun sikap tubuhnya selalu bagus. Tapi kali ini lain. Ia seperti marah, menantang, memaksa dirinya sendiri untuk tegar.

Beberapa saat berlalu, ia mulai berjalan memasuki ruangan. Meninggalkan jejak basah di setiap langkahnya. Air mengalir dari rambut dan bajunya. Ia menuju altar. Menaiki tangganya satu per satu, kemudian berlutut.

Perlahan ia bertutur, “Aku sedih. Sampai- sampai aku yang tak pernah menangis ini pun menangis. Rupanya bukan kau. Kanapa kau tak pernah berpaling padaku? Aku hanya ingin kita berteman. Sesulit itukah? Apa karena aku manusia, maka kau tak sudi berteman denganku? Aku bersedia menjadi hujan jika dengan begitu aku bisa bertemu denganmu.

Anak- anak terkadang melihat cahaya- cahaya menari di langit saat hujan. Namun setelah dewasa mereka melupakannya. Tak mau percaya.

Berbeda dari anak lainnya, hingga kini Ventrion masih sering melihat cahaya- cahaya di langit. Hari itu, beberapa dari mereka menyeruak masuk ke dalam kuil, melesat menuju altar. Tetap tak ingin bersuara, ia membekap mulutnya sendiri. Diperhatikannya sinar itu berputar di mata Alcarea. Memberinya cahaya. Matanya lahir hari itu. Gadis itu mengerjap dan memindai sekelilingnya. Dilihatnya Ventrion.

“Bahkan setelah berbulan- bulan pun kamu tetap datang ke sini. Kupikir aku bisa memiliki waktu pribadiku di sini,” katanya sambil tersenyum. “Terimakasih ya. Bagaimana pun, kita adalah teman. Kamu teman terbaikku. Aku takkan melupakanmu.”

Begitulah kemudian Alcarea berlari meninggalkan altar, diikuti cahaya yang membuka matanya. Ventrion menyusulnya berlari keluar, namun Alcarea tak ada lagi di sana. Permohonan gadis itu rupanya dijawab.

Setelah dewasa dan cukup mampu, Ventrion membangun rumahnya di atas reruntuhan kuil itu. Hingga tua ia tinggal di sana sendirian. Menurut orang- orang, dari rumahnya sering terdengar percakapan antara dua orang jika hari hujan, laki- laki dan perempuan. Padahal tak ada seorang pun yang datang berkunjung sebelumnya. Ada juga yang terkadang melihat seorang wanita muda di dalam rumah kakek itu.

Terakhir, tepat sebelum hari kematiannya, empat orang anak yang sedang bermain di dekat situ melihat ada dua orang muda- mudi yang duduk di atas genting rumah si kakek.

Alcarea dan Ventrion, kembali pada kondisi primanya.

Sabtu, 24 Juli 2010

Tindihan / reup- reupan / paralysis

24/07/2010 18:17:21

Ngomong- ngomong soal proyeksi astral.. gw sendiri ga gitu ngerti penjelasannya, tapi dari artikel yang gw baca di pangeran-jawa.blogspot.com, kayanya gw tau situasi yang mirip deh..

Salah satu yang tertulis di blog itu adalah: rebahan – badan kaku ga bisa gerak – bergetar – mata merem tapi bisa ngeliat sekeliling – begitu bangun (sadar) napas ngos- ngosan.

Right. Gw pernah ngalamin yang mirip. Tapi selama ini gw menyebutnya 'tindien' bahasa jawa yang kalo di sini bisa juga disebut 'tindihan' atau 'ketindihan'.

Pas gw baca komik Yu Yu Hakusho, ada saat di mana Yusuke ngedatengin Kuwabara dan duduk di atas dada tuh orang. Sensasi yang dirasakannya adalah: kaku, ga bisa gerak. Sampe poin ini masih sama kaya gw, bedanya gw ga ngimpi siapa- siapa sedangkan si Kuwabara ngimpi diajak ngomong sama Yusuke.

Walau begitu, gw sempet nyari- nyari kesamaan antara yang gw alami sama kejadian di komik itu. Alhasil, gw ngeri sendiri.. haha^^ Tapi emang dari situ, kondisi yang demikian udah masuk ke dalam daftar dugaan gw akan penyebab ketindihan.

Terus di blog itu juga ada komen- komen yang gw baca, sebelum gw ngibrit ke depan computer dan memulai curhat gw tentang proyeksi astral versi sendiri. Salah satunya ada yang nyebut- nyebut tentang terbang. Terbang!

Dari dulu, dan sekarang juga masih, tiap kali 'ketindihan', gw takut banget. Makanya gw selalu usaha bangun dengan menyentak- nyentakkan nafas. Pokoknya, kalo mau sadar dari kondisi 'tindihan' itu, kuncinya adalah: gerakan. Gerakan mikro pun udah bisa berhasil; hanya seujung jari, dada yang kesentak naek pas ngambil atau buang nafas, itu pun udah bisa bikin sadar lagi. Tapi dari sekian banyak pengalaman gw, setelah bangun dari tindihan, rasanya bakal ngantuk banget. Jadi gw harus langsung duduk di tempat tidur kalo ga mau jatuh tertidur lagi dan kembali..ditindihin! :haha:

Waktu gw pertama kali tindihan pas masih kecil, nyokap gw ngejelasin kalo itu adalah urat / syaraf yang ketindihan (dulu gw suka ngejadiin lengan gw sebagai bantal), makanya peredarannya ga lancar. Dan menjadikan gw kaku di tempat. Pada kondisi ini, lu mo teriak sejadi- jadinya juga, suara ga bakalan keluar.

Dede gw bilang dia pernah baca artikel tentang ketindihan – para bule menyebutnya 'paralysis'. Artikel ini diisi sama beberapa penulis. Ada yang berupa penelitian, atau dia juga adalah seorang pembaca artikel tentang paralysis dan copas di situ, tapi kebanyakan sih pengalaman pribadi. Nah, gilanya adalah: kebanyakan dari mereka mengatakan kalo itu berhubungan dengan makhluk halus. Gyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa~

Waktu kecil, seinget gw pas tindihan gw bakal ngeliat apa yang gw bayangin. Alias sosok yang gw bayangin tiba- tiba terlihat di depan mata gw dan jalan mendekat. Nooo!! Dan seringkali yang (tiba- tiba) terbayang di benak gw sosok yang serem. Makanya gw selalu maksa diri langsung bangun begitu gw sadar sedang 'terjerat tindihan', karena takut ga bisa ngontrol pikiran. Dari dulu gw gitu; semakin gw tau ga boleh sesuatu (dalam hal ini, ga boleh ngebayangin yang serem), semakin gw langsung melakukan hal tersebut. Geez!

Nah, suatu saat, entah kali ke berapa gw terserang tindihan, gw nyoba buat ngendaliin kondisi tindihan itu. Karena pada saat gw berpikir dalam- dalam mengenai tindihan, keluarlah result bahwa waktu tindihan, sedikit kesadaran gw masuk ke alam bawah sadar.

Kesadaran gw.. masuk ke alam bawah sadar.

Tepat! Alam bawah sadar di mana kita tidak dibatas logika.

Gw bisa dapet kesimpulan itu dari: pada saat tindihan gw bisa mikir untuk ga ngebayangin sosok menakutkan, yang justru malah jadi gw bayangin; dan gw punya keinginan keras untuk bangun dari tidur sebelum gw berhasil mencipta sang sosok. Gw bisa mikir dan gw punya keinginan. Itu aja udah cukup jadi bukti bahwa gw punya sedikit kendali di dalam alam yang satu itu.

Sejak saat itu gw jadi nunggu- nunggu kapan gw 'ketindihan' lagi. Misi pertama yang ingin gw lakukan saat berhasil masuk lagi ke sana adalah: membuktikan teori 'dalam mimpi dicubit itu ga sakit'. Makhluk- makhluk dalam sinetron selalu mempraktekkan hal tersebut di atas: (cubit diri sendiri), "Aduh, sakit.. berarti ini bukan mimpi". Makanya gw pengen tau, emang bener kalo di mimpi dicubit ga sakit?

Beberapa hari kemudian penantian gw usai: gw terjebak dalam tindihan. Seperti biasanya gw langsung takut, menyadari kondisi 'lagi- lagi gw masuk sini'. Tapi entah gimana gw berhasil mengingat teori gw tentang kesadaran.. maka gw memberanikan diri membuka mata terhadap dunia itu. Terus dalam waktu yang kayanya cuma beberapa detik gw berhasil mengingat misi yang gw tetapkan: misi cubit- cubit semut. Langsunglah gw cubit diri gw sendiri! Ya iyalah ga sakit, badan gw kan ga bener- bener tersentuh.. Lagian walau rasa sakit bisa ditimbulkan oleh pikiran sekalipun, mungkin saat itu jawaban yang gw inginkan dari misi itu adalah 'ga sakit', jadi begitulah hasilnya: gw ga sakit.

Balik ke artikel, ada salah satu komen yang berbunyi, 'uda pernah coba terbang blum di dunia astral? pasti seru tuh ya. haha'. Kalimat itu menekan salah satu tombol aktifator memori gw. Pernah! Gw pernah terbang dalam salah satu seri tindihan gw. O yah, gw tetep nyebut 'tindihan' karena ga mau melanggar hak cipta 'proyeksi astral', soalnya semua ini gw alami sebelum gw pernah dengar sebisik pun ('sebisik' pun?) tentang astral. Bahkan sampe gw nulis ini aja, gw masih belum ngeh bener tentang konsep AP (Astral Projection).

Ceritanya waktu itu gw tindihan. Dalam mimpi gw ada di sebuah rumah besar bergaya Victorian. Ada satu cewe, beberapa cowo di beberapa ruangan, ada binatang (gw ga inget jelas itu anjing, babi, ato justru kuda setinggi pinggang gw), mereka semua sedang sibuk sama urusannya sendiri. Gw ada di ruangan yang sama dengan si cewe dan binatang, juga ada satu cowo rasanya.. tapi kayanya dia cuma lewat doang ato apalah.. soalnya dia ga terlalu signifikan. Nah, gw tuh ada dalam satu ruangan itu sekaligus ada di awang- awang dari keseluruhan bangunan. Seakan gw bisa ngeliat nembus genteng sehingga gw bisa ngeliat orang di ruangan laennya, termasuk diri gw sendiri. Kalo disimpulin, gw kaya jadi pemain sekaligus penonton. Gw memainkan peran gw, tapi di waktu yang bersamaan gw juga bisa nonton diri gw sendiri yang lagi bertingkah di bawah sono..

Gw ga inget jelas kenapa gw bisa terbang pada saat itu. Yang jelas ada ingatan tipis bahwa yang nerbangin gw itu si cewe, dan dia maen- maenin gw di udara.. secara gw ga bisa ngontrol badan gw sendiri yang ga napak tanah. Kalo ga salah binatang itu juga ikut dia terbangin. Anehnya lagi, saat itu gw ga panik dan maksa bangun kaya biasanya. Yang gw inget cuma gw marah , mau berapa kali gw 'terjerat' terus?! Dan karena dimaenin. Terus gw ngambil alih kontrol badan gw dari si cewe. Mulanya gw cuma terbang agak sedikit naek, mungkin itu aja udah di luar kuasa si cewe karena mungkin dia ga menginginkan gw terbang dengan ketinggian yang sedemikian. Tapi dia masih kalem aja gara- gara gw toh masih di depan mata dia. Gw masih struggle saat itu. Berebut kuasa tubuh sama si cewe, sementara gw masih belum terlalu bisa ngendaliin arah terbang gw. Gampangnya bayangin aja kalo orang yang belum bisa berenang ditaro di tengah- tengah laut mati: ngapung tapi ga bisa maju.

Beberapa saat menyentak- nyentak ke arah depan, akhirnya gw bisa maju. Dan sekali gw berhasil ngubah arah, gw tau caranya ngendaliin terbang. Begitu gw lepas secara utuh dari pengaruh si cewe, gw langsung terbang- terbang keliling ruangan, terus keluar dari pintu rumah itu yang lebar banget. Di luarnya kaya halaman gitu.. Si cewe kaya teriak- teriak marah karena gw lepas. Ada satu cowo yang dateng ke sebelah cewe itu, ikut ngeliatin gw doang. Si binatang, dia ngikutin gw terbang dari belakang. Setelah itu udah deh.. gw ga inget apa- apa lagi. Ga tau terus gw bangun, ato malah gw beralih ke mode 'mimpi biasa'.

Yang jelas pengalaman itu ga bisa gw lupain. Sensasinya, beuh! Luar biasa. Rasanya ga terbatas. Logika ga bisa membatasi gw. Sejak itu gw nunggu- nunggu kapan tindihan lagi. Saking lamanya gw jadi lupa akan penantian gw ini. Setelah jangka waktu cukup lama akhirnya gw tindihan lagi, gw kembali pada diri gw yang takut. Jadi gw reflek nyuruh badan bangun..

Tapi emang tindihan yang terjadi setelah itu serem- serem sih.. Rasanya beda aja. Well, gw ga gitu suka ngobrolin hal berbau mistis dengan serius.. gw ngerasa itu malu- maluin! Haha^^ Tapi blog gw ini.. ma'aing we!

Tindihan- tindihan yang setelahnya terjadi waktu gw SMA, sampe- sampe gw sering ngungsi ke kamar nyokap dan tidur bertiga di sana: bokap – nyokap – gw. So sweet banget ga sih?? Soalnya di masa- masa itu, kalo gw tindihan dan jatoh tidur lagi, gw bakal tindihan lagi. Gw menyebutnya dengan 'ketarik'. Awalnya bisa ditangani dengan ngerubah posisi badan pas bobok, tapi yang berikut- berikutnya ga pengaruh. Gw tetep 'ketarik' lagi ke sana. Makanya gw ngungsi. Gw pikir seenggaknya walaupun gw 'ketarik' lagi, saat gw usaha bangun dan berhasil, di sebelah gw ada orang pas melek.

O yah, satu keterangan lagi: semenjak gw keluar dari perut nyokap, gw selalu tidur dengan kondisi kamar yang gelap (lampu dimatiin). Tapi sejak gw sering tindihan dan jadi kepaksa melek tengah malem, bangun di tengah kegelapan bukanlah situasi yang menyenangkan. Sejak saat itu sampe sekarang gw ga bisa tidur di kamar gelap, kecuali ada temennya. Nah kalo gw lagi ngungsi mode: on, kamar bo-nyok kan gelap tuh (dari dulu mereka selalu begitu.. ga brubah- brubah.. dasar orang jaman dulu statis!) tapi seenggaknya gw tidur betiga gitu loh! Hahahaha^^

Pernah suatu kali gw lagi ketiduran sore- sore, dan gua tindihan dengan panorama yang signifikan banget! Gw 'ditarik' sampe berkali- kali, yang akhirnya bikin gw nyerah karena cape banget struggle, 'Ah, 'maha siah lah..' kemudian gw menjatuhkan diri gw. Apa yang gw lihat dan gw alami di mimpi itu gw abadikan menjadi sebuah cerita dengan judul 'Lucia'. Masih ditulis di atas buku kampus murahan dengan pensil pilot. Waktu itu gw masih SMP. Ntar bakal gw elektronisasi dan gw postingkan juga.

Boleh dibilang itu bukan cerita sih. Kesannya kalo disebut 'cerita', jadinya itu kaya karangan. Padahal bukan. Itu kisah nyata. Kisah nyata yang gw alami di dunia bawah sadar, yang menjadikannya tidak nyata di dunia sini.

Ada salah satu komen lagi yang nanya, apa bener kalo udah pernah berhasil PA, awareness kita sama 'para kasat mata' meningkat. Maaaaaaaaaaan!! Itu aja yang ga gw pengen. Mungkin bagi sebagian orang itu 'bonus', tapi bagi gw itu 'efek samping dan konsekuensi'. Hahahaha^^

Nah, ada yang mau tambah- tambah inpoh? Ada yang punya cerita laen.. ato pernah denger apa gitu ga? Atau bahkan ada yang bisa menjelaskan PA? sok atuh mangga =)


7/25/2010 11:41:41 AM

Sabtu, 27 Maret 2010

Teka- Teki

Aku dan ‘Aku’




Muak dengan kenyataan, membuat kisah sendiri.

Muak dengan pandangan umum, membuat hukum sendiri.

Muak dengan kaumnya, pergi dan melahirkan anak- anak.

Mengetahui beberapa anaknya akan ditolak, dibuatnya dunia yang satu lagi.

Maka terjadilah dunia itu dua.

Dua kerajaan.

Dua tempat persembunyian.

Dua penggambaran.

Dua diri.

Namun satu jati diri.

Yang satu lebih jujur daripada yang lain.

Aku
tak jauh dari aku.

Kami, aku dan dia, saling berbalasan.

Akulah dia, begitu pula sebaliknya.

Kami dua dalam satu.

Aku yang membutuhkan penerimaan dunia terhadapku.

Dan dia yang bersembunyi dibalikku.

Dia tak perlu muncul.

Tak perlu berusaha agar diterima.

Biar aku yang hidup, muncul, dan mengambil tempat di dunia ini.

Dengan demikian, kubebaskan aku dari kekangan dunia.

Nah, pertanyaannya, di manakah aku?

Minggu, 28 Februari 2010

Sang Penari

Di sebuah desa bernama Aquamarine, terdapat reruntuhan kuil pemujaan dewa air. Dewa itu berwujud manusia duyung bertubuh air. Ia memakai mahkota Vulcatroya, yang menandakan kuasanya atas pergerakan magma di dasar lautan.

Saat Helio melintas di angkasa, kembali menyinari Bumi setelah lama meninggalkanya dalam gelap malam, cahaya mentari berlarian menembusi tiap celah dari puing tua itu. Bias- bias cahaya menusukinya dari sana- sini.

Waktu lintasan Helio sudah mengharuskannya kembali menghilang dari pandangan Bumi, merahnya senja menggantikan biasan cahaya pagi mengisi puing itu. Jauh lebih indah ketimbang pagi hari, sinar senja yang merah dan kuat membentuk biasan cahaya saling silang. Mencoret- coret sang bangunan tua di mana- mana.

Di malam hari yang cerah, saat semua makhluk langit bersepakat untuk menonton Bumi, sinar- sinar putih halus membanjiri gedung itu. Kuat, namun lembut. Ada kalanya di saat seperti ini beberapa orang pernah melihat seorang gadis berbusana serba putih menari di tengah- tengah panggung tarian pemujaan di kuil.

Sosoknya yang kadang tenggelam di balik bayangan terlihat begitu murni. Ia menari tanpa beban apa pun. Terlihat begitu hidup. Ia mencurahkan segenap jiwa raganya, memasukkan semuanya ke dalam tarian.



Suatu kali, sang penari yang biasaya selalu terlihat menari sendiri, kini menari berdua dengan sebuah sosok yang serba hitam. Mereka menari. Berputar. Saling mendekat. Menjauh. Mereka bersinkronisasi. Sesekali mereka terlihat seperti bermusuhan. Dengan gerakan cepat yang dingin, mereka saling berkomunikasi.

Di antara keduanya terlihat saling pengertian satu sama lain. Waktu si penari putih terlihat marah, penari hitam hanya terus menghindar sambil menatap mata lawannya. Pada kesempatan yang lain, giliran si penari hitam yang terlihat menyerang penari putih. Ia berkeliling di seluruh panggung, mengejar penari putih.

Entah mengapa, tiba- tiba mereka berdua berputar di dalam panggung dengan lingkaran yang semakin mengecil. Beberapa saat kemudian, mereka mengulurkan tangan, berusaha saling menggapai. Setelah lingkaran menjadi benar- benar kecil hingga tangan mereka bertemu, mereka menyatukan tangan. Bertatapan beberapa lama. Menghadap ke arah patung dewa air, kemudian memberi hormat. Kesemuanya mereka lakukan secara bersamaan.

Di detik berikutnya, mereka menoleh ke arahku, menatapku tepat di mata. Baru kusadari, wajah mereka terbuat dari air! Aku mau berlari, tapi saking takutnya, aku lemas di tempat. Mereka berjalan mendatangiku. Beberapa meter sebelum mereka tiba, segenap tenaga berhasil kusummon, maka berlarilah aku sebaik yang kubisa.

Gagal. Aku dijerat sulur- sulur kain dari baju mereka. Kemudian mereka membawaku ke tengah- tengah kuil. Ke panggung tari. Dan aku baru tahu kalau panggung tari itu sebenarnya adalah kolam yang cukup dalam! Jadi dari awal, para penari itu jelas bukanlah manusia.

Mereka menenggelamkanku. Cahaya di mataku kian meredup. Kesadaranku terus berhamburan menguap. Hingga pada satu titik, namaku dipanggil: “Oxyrius, anakku, bangkitlah.” Aku membuka mata dan kulihat sosok yang hanya kukenal dari patung itu kini hidup dan beterbangan di depanku. Aku mengedipkan mata barkali- kali sambil mengernyit. Kusadari aku ada di dalam air! Maka makhluk beterbangan itu pun sebenarnya bukan terbang, melainkan berenang.

Dua penari itu ternyata menahan tubuhku selama aku pingsan. Wajahnya terlihat! Kuperhatikan mereka satu per satu: penari putih ternyata adalah seorang pria (padahal selama ini penduduk mengiranya perempuan), dan yang hitam adalah seorang wanita. Mereka terlihat jauh lebih indah, lebih agung, di dalam air. Bukannya bermusuhan, mereka justru saling melengkapi.

Dua penari itu rupanya bukanlah penari utama. Mereka hanya semacam tarian pembuka untuk memanggil dan membangkitkan para penari yang sesungguhnya. Aku salah satunya. Aku adalah seorang penari merah. Namaku Oxyrius. Kini, tugas membangkitkan yang lainnya dipindahkan ke tanganku. Aku harus mencari empat yang lainnya.

Awalnya begitu sulit. Selain aku harus mencari sendirian, aku juga masih belum mengerti banyak hal. Namun dewa air sendiri yang membimbingku. Aku tak pernah melihat lagi baik si penari putih, maupun penari hitam.

Segalanya menjadi lebih mudah setelah bertemu Cyanis, si penari biru. Aku yang sudah lumayan mengerti tugasku, kini menjadi pembimbing baginya yang baru bangkit. Kurang lebih dua tahun kuhabiskan untuk mengumpulkan semuanya. Yang ketiga kutemukan adalah Chloriel, penari hijau. Lalu Xantula, penari kuning. Terakhir Momotaro, penari pink. Lengkaplah kami kini, Dancer Ranger.