Selasa, 14 Desember 2010

AQUA

Zaman dahulu kala ada sebuah negeri yang meliburkan segala aktivitas rakyatnya jika hari hujan. Para pekerja, anak- anak, semuanya diliburkan saat Sang Air meluncur berjatuhan dari langit. Terutama anak- anak, mereka begitu senang jika hari hujan tiba.

Masing- masing dari mereka terkadang melihat cahaya- cahaya kecil menari di langit kala hari hujan. Namun para orang dewasa yang telah melupakan pengalaman mereka sendiri ketika masih anak- anak, selalu menyangkalnya dan mengatakan bahwa itu hanyalah kilatan- kilatan petir.

Alcarea, seorang gadis cilik amat menyukai hujan. Ia tak peduli dengan libur yang didapatkannya saat hujan turun mengguyur. Setulus hati, ia menyukai hujan, terlepas dari apa yang diberikan hujan padanya. Oh, hampir lupa, anak itu buta sejak lahir.

Ventrion, bocah lelaki cerdas namun sangat sulit disuruh pergi sekolah, juga menyukai hujan karena ia jadi tak perlu datang ke sekolah. Ia adalah anak paling kecil dari empat bersaudara. Semua kakaknya perempuan. Ditambah seorang ibu yang begitu lembut dan kenyataan bahwa tak ada ayah yang mendidiknya, menjadikannya anak yang manja.

Alcarea, Ventrion, belum pernah bertemu satu sama lain. Hujan yang mempertemukan mereka. Pertama kali mereka saling bertatap mata adalah kala senja berhujan di sebuah reruntuhan kuil di luar desa mereka.

Alcarea meminta seorang teman mengantarnya ke tempat yang ramai dibicarakan anak- anak sebagai ‘tempat tinggal hujan’. Di sana, ia berencana untuk menemui Sang Hujan dan mengajaknya berteman. Setibanya di sana, anak yang mengantar melihat sesosok bayangan aneh berkelebatan di dalam kuil. Ketakutan, ia pun lari tunggang- langgang meninggalkan Alcarea.

Anak perempuan buta itu pasrah terduduk lemas di tempatnya. Berhubung dia buta sehingga tak cukup daya untuk melihat jalan dan berlari pulang. Matanya mulai berkaca- kaca.

“Hei! Kamu kenapa?” tanya sebuah suara. Suara anak laki- laki.

Alcarea belum sanggup untuk mengeluarkan suara, ia masih gemetaran. Sebuah tangan yang hangat terulur padanya dan membantunya berdiri.

“Patroska lari,” ucap Alcarea gemetaran.

“Hah? Siapa?” tanya suara itu.

“Teman yang mengantarku ke sini. Tanpa dia aku tak bisa pulang,” jelasnya terisak.

Sebelum bertanya ‘kenapa tak bisa pulang sendiri’, sang penanya sudah terlebih dulu menyadari kondisi lawan bicaranya. Buta. That’s why.

“Rumah kamu di mana?”

Menjelang malam hari Alcarea baru tiba di rumahnya. Hanya ada ibunya di sana. Ayahnya sedang kelimpungan mencarinya karena panik mendengar laporan anak yang pergi bersamanya tadi. Namun hari itu berakhir cukup baik.

Sejak itu Alcarea hampir selalu pergi mengunjungi reruntuhan kuil di hari hujan. Ia percaya saat itu, di sana, ia akan bisa bertemu lagi dengan Sang Hujan yang disukainya itu.

Dia kadang bercerita pada temannya: “Kemarin aku bertemu dengan Sang Hujan. Sepertinya dia adalah anak laki- laki seumur kita!” ungkapnya gembira.

Bertahun- tahun dihabiskannya dengan mengunjungi reruntuhan kuil waktu hujan. Ia mulai terbiasa dengan anak laki- laki yang dianggapnya sebagai Sang Hujan. Hidupnya runtuh ketika suatu hari suara laki- laki itu memperkenalkan namanya.

“Namaku Ventrion. Berhentilah memanggilku Ame. Panggil aku Ion.”

Setelah kejadian itu, berbulan- bulan Ventrion sia- sia menunggu Alcarea di reruntuhan tepat mereka biasa bertemu. Saat ia sudah siap berucap selamat tinggal pada tempat itu beserta seluruh kenangannya, gadis yang ditunggunya muncul.

Ion diam di sudut ruangan. Berusaha keras agar tak mengeluarkan suara sedikit pun. Diam. Menunggu. Mengamati. Dilihatnya Alcarea berdiri beberapa menit di depan pintu masuk. Membiarkan dirinya diguyur hujan. Tak takut basah, karena sejak awal dia sudah basah. Air mukanya seperti orang yang sedang menangis. Tapi Ventrion tak dapat memastikannya karena wajah Alcarea sudah basah dialiri air hujan yang mengucur dari rambut.

Gadis itu berdiri begitu tegak dengan dagu terangkat. Biasanya pun sikap tubuhnya selalu bagus. Tapi kali ini lain. Ia seperti marah, menantang, memaksa dirinya sendiri untuk tegar.

Beberapa saat berlalu, ia mulai berjalan memasuki ruangan. Meninggalkan jejak basah di setiap langkahnya. Air mengalir dari rambut dan bajunya. Ia menuju altar. Menaiki tangganya satu per satu, kemudian berlutut.

Perlahan ia bertutur, “Aku sedih. Sampai- sampai aku yang tak pernah menangis ini pun menangis. Rupanya bukan kau. Kanapa kau tak pernah berpaling padaku? Aku hanya ingin kita berteman. Sesulit itukah? Apa karena aku manusia, maka kau tak sudi berteman denganku? Aku bersedia menjadi hujan jika dengan begitu aku bisa bertemu denganmu.

Anak- anak terkadang melihat cahaya- cahaya menari di langit saat hujan. Namun setelah dewasa mereka melupakannya. Tak mau percaya.

Berbeda dari anak lainnya, hingga kini Ventrion masih sering melihat cahaya- cahaya di langit. Hari itu, beberapa dari mereka menyeruak masuk ke dalam kuil, melesat menuju altar. Tetap tak ingin bersuara, ia membekap mulutnya sendiri. Diperhatikannya sinar itu berputar di mata Alcarea. Memberinya cahaya. Matanya lahir hari itu. Gadis itu mengerjap dan memindai sekelilingnya. Dilihatnya Ventrion.

“Bahkan setelah berbulan- bulan pun kamu tetap datang ke sini. Kupikir aku bisa memiliki waktu pribadiku di sini,” katanya sambil tersenyum. “Terimakasih ya. Bagaimana pun, kita adalah teman. Kamu teman terbaikku. Aku takkan melupakanmu.”

Begitulah kemudian Alcarea berlari meninggalkan altar, diikuti cahaya yang membuka matanya. Ventrion menyusulnya berlari keluar, namun Alcarea tak ada lagi di sana. Permohonan gadis itu rupanya dijawab.

Setelah dewasa dan cukup mampu, Ventrion membangun rumahnya di atas reruntuhan kuil itu. Hingga tua ia tinggal di sana sendirian. Menurut orang- orang, dari rumahnya sering terdengar percakapan antara dua orang jika hari hujan, laki- laki dan perempuan. Padahal tak ada seorang pun yang datang berkunjung sebelumnya. Ada juga yang terkadang melihat seorang wanita muda di dalam rumah kakek itu.

Terakhir, tepat sebelum hari kematiannya, empat orang anak yang sedang bermain di dekat situ melihat ada dua orang muda- mudi yang duduk di atas genting rumah si kakek.

Alcarea dan Ventrion, kembali pada kondisi primanya.