Kamis, 21 April 2011

Players (..)

Wow! Mari kita hilangkan kerutan vertikal di dahimu itu. Rumahku. Keluargaku akan sempurna jika tak ada anak pembawa aib sepertiku ini. Sewaktu duduk di kelas 2 SMP, aku menemukan teman- teman yang begitu cocok bagiku. Sedang rumahku begitu gelap dan berkobar. Maka kulupakan keluargaku. Seluruh duniaku adalah teman- temanku waktu itu.

Hidupku begitu indah, cerah, dan berkilau. Kunikmati tiap tarikan nafas yang melewatkan udara di tenggorokanku. Aku juga memiliki seorang pacar. Gadis cantik dan lucu. Seuntai senyum pasti mengembang di wajahku kapan pun aku mengenang masa- masa ini. Tanpa terkecuali –dalam kata lain, kuberitahu kalian bahwa saat ini aku sedang tersenyum.

Nah, cara kami jadian pun cukup fantastis! Ia adalah seorang gadis yang cukup populer di sekolah. Bukan tak suka padanya, aku hanya sekedar sudah punya ‘incaran’ lain. Incaranku adalah orang yang baik dan selalu peduli padaku. Walau sebelum aku se’eksis’ sekarang. Lalu kenapa aku tak jadian dengannya? Sebab suatu hari, si gadis populer mendatangiku dan membuat janji sepihak denganku. Pulang sekolah. Di atap.

Dari awal, aku sudah bisa menduga apa yang akan terjadi: main cap sah seperti yang biasa kami semua lakukan. Gilanya, setibanya aku di sana, kulihat si gadis membujur di lantai. Baju berantakan. Beberapa kancing lepas (benang penjahitnya putus). Dan seleting belakang roknya terbuka, walau rok itu tetap di tempatnya.

Kontan kuhampiri dia. Di pelukanku, kugoncang- goncang dia. Kupanggil namanya hingga tak bisa kubedakan lagi mana yang dengan volume normal, mana yang sudah berteriak. Pedulikah aku pada gadis populer itu? Maaf, tidak. Yang kulakukan hanyalah sebuah reaksi normal dalam diri siapa pun yang mendapati kondisi seperti aku saat itu.

Gadis terbujur itu adalah ‘bunga’ diantara kami, para anak lelaki yang bermain di sana. Cantik. Enak diajak ngobrol. Oh, bunga yang indah. Namun tak lebih dari itu ia di mataku. Hidupnya, hidupku, pemikirannya, pemikiranku, sama sekali tak berhubungan.

Beberapa saat kemudian tiba- tiba ia membelalakkan matanya. Bola matanya tepat di bola mataku. Terkejut, hampir kubuang dia. Hampir kuhempaskan lagi tubuhnya ke lantai semen itu. Lalu kenapa hal itu tak terjadi? Gadis itu memeluk lenganku dengan (sangat) kuat. Mencengkeramnya. Bergelendot di sana hingga kagetku usai kuatasi.

Kutanyakan kondisinya, apa yang telah terjadi padanya. Simpel, ringan, tak berdosa, dijawabnya aku dengan pertanyaan: “Kamu suka ga sama aku?”

Otomatis mataku membelalak. Mudahnya gadis itu mengejutkanku hingga beberapa kali.

“Hah?” aku sama sekali tak mengerti.

Diulanginya pertanyaan itu dan mengajakku jadian. Sebelum kajawab keinginannya, kusuruh dia merapikan bajunya dulu. Dia malah menatapku. Terdiam beberapa saat dalam posisi yang dinikmatinya seorang diri. Menanyakan pendapatku akan penampilannya. Gadis gila! Tapi mengerti apa maksudnya, keinginannya, aku menganggukkan kepalaku. Itulah mulanya aku jadian dengan gadis itu. Eh? Siapa namanya? Entahlah. Aku sendiri sudah lupa. Ia tak cukup penting untuk mengharuskanku mengingat namanya.

Delapan bulan kami habiskan bersama, kucampakkan dia. Begini- begini aku adalah tipe orang setia. Dapat kutahan perasaanku ini sebegitu lama: delapan bulan. Berstatus sebagai pacarnya. Walau aku tak pernah suka dia.

Dia adalah pacar pertama sekaligus terakhirku. Sebab darinyalah kukenal dan kudapat trauma terhadap gadis.

Waktu kuputuskan dia dengan alasan yang sudah kusemedikan selama empat hari, ia memberiku respon: “Begitu ya? Ga pa- pa. Aku udah cukup seneng jalan sama kamu selama ini. Aku juga bersyukur banget kamu yang duluan ngomong. Tadinya aku udah pusing- pusing cari cara buat ngomong…”

“Ngomong apa?” selaku. Perasaan aneh dan tak nyaman seketika menyergapku.

“Untuk putus dari kamu.”

“Loh? Kenapa?”

“Soalnya aku ditembak…”

Ingatanku samar di bagian itu. Aku tak mengingat nama orang yang menembakknya. Untuk apa juga. Tapi begitulah sejarahnya kami putus. Ia ditembak seseorang beberapa minggu sebelum pembicaraan itu. Dan sejak itu mereka sudah sering pergi keluar bersama layaknya orang pacaran. Padahal kan masih ada aku! Aku yang berstatus sebagai pacarnya. Aku yang menahan diriku untuk tetap berstatus sebagai pacarnya, sementara membuang gadis yang justru sebenarnya kusukai. Perempuan gila!

Haruskah dia menghargaiku? Jelas. Harus. Wajib. Terlebih dari penghargaannya terhadap statusku atas dirinya, kuterima status itu secara terpaksa. Fakta ini membuatnya harus menghargaiku lebih dari siapa pun juga teman di sekitarnya. Entah kenapa dari dulu aku beranggapan: orang yang melakukan sesuatu dengan terpaksa, harus mendapatkan penghargaan yang lebih dari umumnya.

Oh ya, ada bagian yang terlewat. Posenya yang bergelendot di tanganku dengan penampilan berantakan itu diabadikan oleh temanku. Kami difoto. Nah, foto itulah yang kugunakan untuk menghakiminya. Singkat cerita, semua orang jadi memiliki kesempatan untuk curi lihat foto itu. Membuatnya malu dan mengadu pada pihak sekolah. Perempuan gila!

Inilah titik pertama kukoyak kesempurnaan keluargaku. Tak perlu kudeskripsikan panjang lebar, kalian toh pasti sudah punya gambaran sendiri tentang apa yang terjadi selanjutnya di rumahku. Ditegur. Dimarahi. Yah, hal- hal semacam itu. Lalu dikatai sebagai pencoreng nama baik keluarga.

Ayahku sempat berkata pada Jonathan (adikku), “Dek, nanti kalo udah gede jangan kaya kakak ya! Bikin malu orang tua.”

Mudahnya bagi mereka. Jika anak pertama berhasil baik dan memuaskan, mereka tinggal menyuruh anak berikutnya mencontoh si anak pertama. Namun jika ia tak menunjukkan apa yang diinginkan oleh si orang tua, maka mereka tinggal berkata pada anak selanjutnya untuk tidak menjadi seperti si anak pertama. Keluarga gila!

Selesai sudah kugambarkan ketidaksempurnaan masa SMP yang berimbas pada keluargaku. Kita tiba di penjelasan tentang kampus. Seusai aku lulus SMA, aku berhasil menjebol salah satu perguruan tinggi yang cukup ternama. Orang tuaku berkata pada Nathan, “Tuh, tiru kakak kamu.” Ewh.. membayangkan mereka lama- lama membuatku jijik.

Semua berjalan lancar. Mulai dari ospek, hari pertamaku, tugas pertamaku.. tak ada penghambat sama sekali. Baik dari dalam diriku, maupun dari lingkungan.

Tetapi rupanya, Sang Ketidaksempurnaan sudah mengintai tanpa sepengetahuanku. Segerombolan senior. Tentu saja senior, berhubung aku adalah anak baru, semua orang yang ada di sana pastilah seniorku –kecuali teman seangkatan.

Suatu hari aku diajak main kartu. Cap sah. Kesukaanku. Mengingatkanku pada waktu- waktu yang sudah berlalu. Tentu aku menerima ajakan itu. Sesampainya aku di tempat mereka, kulihat mereka bersih. Tanpa uang. Mulai dari situ aku hampir selalu bersama mereka di waktu- waktu kosong. Hingga seminggu berlalu dan aku mulai merasakan kejanggalan. Mereka menggunakan uang.

Senin, 18 April 2011

Players (.)


“Ayo kita bermain!”

Kita akan terus bermain sampai salah satu dari kita lelah.

Ini adalah tahun keduaku di universitas. Kehidupan kurasa begitu tenang, damai, dan terang. Ya, terang adalah istilah yang kupakai di mana aku merasa begitu senang hanya dengan menarik nafas saja. Mengisi paru- paruku penuh dengan udara. Lalu menghembuskannya kembali dengan puas. Entah dengan mahasiswa lain, namun hariku.. begitu kemilau. Oh ya, kemilau adalah sebutan yang kugunakan untuk menggambarkan langkah- langkahku yang bagai berada di atas riak air terpapar cahaya.

Tugas- tugasku selalu beres. Entah dengan mahasiswa lain, namun segala yang kuterima selalu berada dalam batas penanggulanganku. Intinya, sama sekali belum mengganggu ruang pribadi dalam kehidupanku. Waktu tersita? Tentu tidak. Kupikir mereka semua (tugas- tugas) masih tahu diri dan hanya memenuhi waktu mereka yang semestinya. Sama sekali tak mengganggu hidupku yang kemilau. Kemilau. Indah sekali.

Keluargaku adalah keluarga bahagia. Ayah dan ibu masih lengkap. Di antara mereka pun masih ada tali suami istri, baik secara hukum, maupun secara batin. Adikku anak yang baik. Ia penurut dan jauh dari istilah malas belajar. Benar- benar anak yang manis dan ramah. Ia pandai bergaul, lebih daripada aku. Namun seiring pertumbuhan, ia menjadi anak yang lebih diam dariku saat berada di luar rumah. Kenapa ya? Mungkin ia hanya sekedar –pada akhirnya– menyadari apa itu masyarakat sebenarnya. Apa itu pergaulan sebenarnya.

Gadis- gadis begitu mengerikan. Makhluk bar- bar dengan energi berlebihan. Ewh.. just say no for them. Terlebih para pria. Mereka menjijikan. Sejenis makhluk hidup dengan otak kotor. Tak lain dan tak bukan sex yang melintasi kepala mereka bagai marquee dengan kecepatan tinggi yang bisa membuat mata sakit jika dilihat dengan seksama terus- menerus. Intinya, jangankan pilih- pilih teman, tak ada pilihan yang diberikan padaku sejak awal. Itulah manusia di mataku. Jika disuruh memilah yang baik dari yang buruk, tapi yang dihadapkan padamu buruk semua, apa yang akan kau perbuat? Yang kuperbuat? Diam di tempat. Seperti yang sekarang dan selalu kulakukan.

Keluargaku sempurna. Kampus tempatku kuliah juga sempurna. Lalu, apa yang kulakukan? Menuliskan semua itu di sini? Apa gunanya dan apa untungnya bagiku? Untungkah aku jika berhasil membuat kalian iri? Oh, tentu tidak. Apa peduliku dengan kalian? Wahai para pembacaku, yang jika bukan pemudi, maka pemudalah kalian?

Baik kuberitahu. Kalimat- kalimat di atas. Semuanya belum selesai. Masing- masing dari mereka memiliki bagian yang kuhilangkan. Bagian itu adalah:

…jika tanpa aku.

Ya, semuanya sempurna. Tapi jika tanpa aku.

Semuanya sempurna jika aku tak ada.