2/25/2009 8:40:44 PM
Dulu ada seorang anak bernama Georgette. Seorang gadis yang selalu memandang dirinya sebagai pengamat dunia. Dia ga pengen ikut campur dalam urusan yang menurutnya ‘duniawi’ banget. Baginya, tingkah teman- temannya itu terlalu berlebihan dalam menghadapi segala sesuatu. Mulai dari budaya pacaran, sampai hal- hal bullshit seperti persahabatan.
Maka dari itu, dia menempatkan dirinya di posisi orang luar, atau outsider. Dia ga mau ikutan budaya umum di sekitarnya. Kalo dia (entah dengan alasan apa pun) udah mulai masuk ke dalamnya, yang ada hanya protes bergejolak dalam hatinya. Karena banyak ketidaksetujuan terhadap ini- itu dalam pandangannya.
Sejak dia memutuskan dirinya demikian, dia mulai menjadi orang yang pendiam. Memandang. Mengamati. Itulah kegiatan rutinnya. Kegiatan yang dia pikir tak akan berdampak apapun, baik baginya, ataupun bagi semesta yang diamatinya. Sampai saat itu tiba…
Suatu saat, di tengah pelajaran fisika, seperti biasa, Georgette ‘mengamati’. Suatu hal yang sekarang menjadi hobinya. Dia melihat berkeliling, memperhatikan teman- temannya satu per satu. Lalu matanya tak sengaja menangkap suatu keganjilan pada meja temannya. Ada suatu benda kecil bergerak- gerak. Kontan, dia memfokuskan pandangannya pada benda asing itu.
Setelah lama dilihat, setengah tak percaya, dia beriman bahwa benda kecil bergerak itu adalah tupai kecil. Tapi penampilannya seperti yang ada di kartun anak- anak: berbaju, berdiri di atas kedua kaki belakangnya, dan memegang benda pada kedua kaki depannya. Astaga!
Makhluk kecil itu sedang memegang kunci inggris. Dia seperti sedang berusaha memutar sesuatu. Georgette melihat di sana juga ada benda menyerupai mezbah, yang di atasnya terpasang sebuah sekrup berkepala berlian.
Kini kepala Georgette seperti terbagi menjadi dua kubu. Kubu ‘believer’ dan kubu ‘unbeliever’. Satu sisi, dia makhluk berlogika, di sisi lain, dia muak dengan realita dunia yang selama ini dia selami. Maka kemudian, keluarlah sang pemenang: kubu ‘believer’. Dia terlalu muak dengan realita dan logika umum.
Makhluk itu terus berada di sana. Menggeluti kesibukkannya. Sampai jam istirahat, Georgette tak bisa tenang. Beberapa detik sekali dia memusatkan perhatiannya ke meja temannya itu. Takut makhluk itu menghilang..
Setelah kelas agak sepi, karena sebagian besar orang keluar pada jam istirahat, Georgette bermaksud mendatangi makhluk itu. Tapi sebelum terlaksana secuil pun, sesuatu mendahuluinya. Memasung langkahnya. Sebuah suara. Wanita.
“Tupai itu akan mencabut The Sekrup Of Dunia. Penopang pusat tumpuan dunia ini. Jika dia berhasil, dunia akan runtuh seperti menara kartu yang dicabut fondasinya. Tugasmu, tumbangkan tupai itu.”
Tegas. Tidak memberi ruang bantah maupun ruang pertanyaan. Halus. Dingin. Beberapa saat setelah suara itu selesai bicara, barulah Georgette bisa kembali bergerak. Jantungnya berdebar. Kemudian dia amati lagi tupai itu.
“Hei. Kamu tupai kan? Kamu lagi apa?”
Makhluk itu hanya menoleh, kemudian kembali bekerja. Dia terlalu sibuk meruntuhkan dunia ini.
“Heh! Gua bisa liat lu. Waro gua dong!”
Tak ada respon.
Heh, brengsek. Siniin kunci inggris lu!” Kata Georgette sambil bergerak maju dengan tangan menggapai.
Merasa terancam, tupai itu melompat. Bukan mundur, tapi maju. Dia langsung naik ke pundak Georgette dan berlari keliling mulai dari kepala, terus ke punggung, lalu leher, kemudian pinggang… Sampai gadis itu kewalahan.
Akhirnya dia berhasil melepaskan tupai itu dari badanya. Makhluk itu melompat mundur dan mengambil posisi siaga satu. Dipelototinya Georgette dari jarak sekitar 2 meter.
Mereka berdua saling pandang seperti di film koboi, sesaat sebelum keduannya baku tembak. Seperti diberi aba- aba, mereka berdua bergerak bersamaan. Tupai itu kembali ke depan ‘mezbah’nya, sedangkan Georgette menyambar kantung plastik yang ada di meja temannya yang lain, yang tadi tak sengaja tertangkap matanya.
Georgette berusaha menangkap tupai itu dengan senjata barunya. Gagal. Kemudian dia mendapatkan senjata baru lagi: biji kenari (yang entah datang dari mana). Gagal. Tupai itu bahkan tidak menoleh. Senjata baru lagi: kunci inggris tupai itu sendiri, yang berhasil direbutnya. Gagal. Tepat sesudah kunci inggrisnya direbut, tupai itu merogoh saku bajunya dan mengeluarkan benda yang persis sama.
Terengah- engah, Georgette tak tau lagi apa yang harus dilakukannya. Mati- matian dia memeras otak, tak ada satu pun cara yang terpikir yang berhasil. Tiba- tiba dia terniang (atau memang suara itu muncul lagi??) suara asing yang tadi didengarnya: “…tumbangkan tupai itu.” Tumbangkan?
Dengan keraguan yang melampaui batas, dia menjegal kaki tupai itu dengan penggaris sepanjang 15 senti miliknya. Saat itu si tupai sedang disibukkan lagi oleh tugasnya meruntuhkan dunia. Dia sedang konsentrasi penuh memutar sekrup di depannya. Sangat diluar dugaan, tikus itu oleng. Dia jatuh. Kemudian dia terlihat berusaha bangun, tapi tidak bisa. Sesuatu dalam bajunya menahannya dalam posisi tetap seperti itu. Kelihatannya ada sesuatu yang berat di dalam sana.
Georgette melongo. Tak percaya ada mekanisme keseimbangan yang sedemikian rendah levelnya. Dan tak percaya juga dia sudah basah berkeringat, padahal tugasnya (?) seringan ini.
Setelah menumbangkan tupai itu, tak lama sekrup itu bersinar. Memutar dirinya sendiri sampai masuk lagi ke dalam drat-nya seperti semula. Kemudian seiring dengan menghilangnya sekrup, mezbah, dan segala hal aneh lainnya dari meja itu, si tupai pun menghilang. Bertepatan dengan itu, bel tanda istirahat usai, berbunyi.
Hari itu cukup melelahkan, mengherankan, sekaligus (agak) menyenangkan bagi Georgette. Sesuatu yang tidak membosankan telah terjadi padanya hari ini.
Dia berjalan pulang sambil senyam- senyum. Dia melihat awan, memandang pohon, memperhatikan kucing liar yang berjalan melewatinya. Semuanya tak ada yang terlewatkan. Georgette sedang mengamati dunia.
Semuanya terlihat begitu indah dan bersahabat hingga matanya tiba di sebuah pohon mangga. Sepertinya ada sesuatu yang janggal pada salah satu buahnya. Dipicingkanlah matanya untuk melihat lebih jelas. Buah yang menggantung itu bergerak- gerak pelan. Dan yang lebih penting, warnanya pink!
Kali ini, imannya yang kedua. Dia beriman yang dilihatnya itu adalah seekor kelinci. Kelinci menyamar sebagai buah di pohon mangga! Alangkah kejadian yang luar biasa jarang.
Belum sempat Georgette membatin ‘hari ini adalah hari yang luar biasa’, kelinci aneh itu pun muncul lengkap dengan sang ‘suara’. Kembali membuatnya terpasung di tempat dan menyesali pemikirannya yang sekilas itu.
“Namanya Rabithia. Dia sedang berusaha memotong The Urat Of The Semesta yang salah satu serabutnya ada dalam batang pohon itu. Jika dia berhasil, energi dunia akan memancar keluar seperti saat orang memotong nadinya. Jangan pikirkan apa yang akan terjadi jika dia berhasil. Yang perlu kamu pikirkan hanyalah bagaimana kamu bisa menyiasati untuk menjatuhkannya.”
Georgette menghela nafas pertanda lelah. Memang hal ini (agak) menyenangkan pada mulanya. Tapi kalau sampai datang dua kali dalam waktu sedekat ini, siapapun akan menjadi muak.
Dia melihat ke langit, “Ow my God! Bolehkah aku pura- pura aja bilang ga liatt??”, katanya. Berusaha bicara pada siapa pun yang sepertinya ada di atas sana…
2/25/2009 10:42:18 PM
hi valen!!! hehehe.. luthuna Georgette-mu itu.. pengalamannya jg..
BalasHapusBtw valen, gw bru mulai bikin blog jg.. hehehe..
alamatnya : bubulovecaca.blogspot.com
haha aneh ya??
btw valen, ajarin g bikin shoutmix dong.. klo mw contohnya liat di blog glamgirls
nih alamatnya : ggheadquarters.blogspot.com
btw u tau kan ini sapa?? yg namanya sama ky u lho.. Amanda.. haha
udh gitu ajah.. c u later volks wagen!!!
hahahaha^^ manda2..
BalasHapusteng_kyu^^ hohoh
gw ga tau gmn caranya^^
skrg ja gw mu posting susa bangedd.. xb
lucuuu lucuuu.... rame euuuy... wkwkwkwk
BalasHapus