29/03/2009 18:43:46
Seorang anak perempuan yang bosan dengan kehidupannya. Ia sudah sekian lama muak dengan kepribadian ayahnya. Bertahun- tahun ia memikirkan tentang hidupnya ke depan. Akhirnya ia menggapai kesempatan untuk menjadi seorang backpacker.
Sebelum memutuskan untuk pergi tanpa pernah kembali lagi, satu hal lagi yang masih mengganjal pikirannya: seorang partner. Ia memang bisa saja independen. Tapi semua orang butuh teman. Kalau memang bisa punya partner, mengapa tidak?
Ia tau jelas, sekali ia melangkahkan kakinya keluar dari rumah, maka ia tak akan pernah memiliki rumah lamanya itu lagi. Ia tak akan bisa kembali ke rumah itu seperti saat ia belum meninggalkan rumahnya. Ia akan menjadi seorang outsider bagi rumahnya sendiri.
Semuanya tak akan ada yang sama lagi.
Berpusing- pusing ia mencari seorang partner. Ada satu orang yang disukainya. Diharapkannya untuk bisa menjadi partnernya. Tapi maukah gerangan sang pribadi untuk menjadi partnernya? Menjadi bagian dari hidupnya?
Jangan pikir yang ia harapkan dari semua ini adalah seujung perkawinan, dan si pria akhirnya akan membawanya lari. Tidak. Tidak demikian adanya. Sang tokoh utama wanita ini adalah seorang yang tidak percaya dengan adanya cinta. Hal semacam pengungkapan kasih dan sebagainya hanya bullshit baginya. Semakin diungkapkan, kasih akan menjadi hal yang semakin tawar. Begitu menurutnya. Maka dari itu, ia tak pernah sekali pun membicarakan kasihnya pada orang- orang yang dikasihinya.
Orang yang dingin dan jahat. Begitulah penjelasan yang paling gamblang dan gampang mengenai pribadi si wanita.
Sungguh disayangkan, ia masih memiliki hati saat ia hidup di dunia yang sebagaimana kita tinggali sekarang. Ia pun menyesali kondisi ini. Hati membuat segalanya tidak efisien.
Tak ada waktu luang yang ia lewati tanpa memikirkan pujaannya. Selalu kepalanya dipenuhi ‘duh, gimana ini?’, atau ‘dia mau ga, ya?’. Berat rasanya. Semua ini mendatanginya bertubi- tubi. Mulai dari pemikiran tentang keberangkatannya sendiri, sampai tentang sang patrner pujaannya.
Kira- kira, beginilah isi pertimbangannya: Pertama tentang dirinya sendiri. Kalau tentang dirinya sendiri, resiko setelah ia meninggalkan rumah akan ia tanggung tanpa mengeluh. Karena ini adalah pilihannya sendiri. Kedua tentang si pria, seandainya ia mengutarakan isi kepalanya dan mengajaknya untuk saling berbagi hidup, maukah ia? Atau bahkan, sanggupkah ia? Bagaimana pun, si pria harus (setidaknya) menanggung resiko dan konsekuensi yang sama dengannya.
Ketahuilah, sang tokoh wanita benar- benar tak akan mengeluh. Karena dia adalah orang yang selalu memperhitungkan segala probabilitas dengan tolak ukur kemungkinan terburuk sebelum melakukan segala sesuatu. Ia adalah orang yang (hampir) tidak pernah merasakan penyesalan dalam hidup. Karena semua sudah ada dalam perhitungan. Jangan sampai salah mengerti. Ia tak pernah mengeluh bukan karena semua berjalan mulus. Tapi karena ia memang sudah siap saat Sang Konsekuensi datang di ujung kisah.
Saat ini yang bisa ia lakukan hanyalah membayangkan. Membayangkan betapa surganya jika ia berhasil menjadi seorang backpacker bersama dia yang terkasih. Jauh beredar di mana pun ia mau melangkahkan kakinya. Jauh dari rumah. Jauh dari ayahnya. Jauh dari nerakanya.
Sekian yang bisa kutulis untuk saat ini. Aku tak punya keberanian yang cukup untuk melanjutkan kisah.. yang bahkan belum mulai. Aku tak punya keberanian yang cukup untuk menantang Sang Esa. Menantang Sang Takdir.
I like it...
BalasHapuscara penulisannya gue suka banget...
tapi valen sedikit pesan aja, gaya tulisan l itu gak komersial. bagus tapi gak banyak orang yang suka...
artinya tulisan l bakal susah dijual.
kalau l emang berniat cari uang lewat tulisan, bikin tulisan yang sesuai dengan selera pasar.
tapi kalau l termasuk orang yg idealis (kayak g) silakan berekspresi dengan gaya tulisan l sekarang...
it's ur choice...
hehehe jadi kayak di kelas aja ya...sori